Pages

Monday, March 16, 2015

Pengalaman dalam Berbicara di Depan Umum (Part 1)

Menjadi Dhammaduta berarti secara tak langsung juga menjadi public speaker atau pembicara umum. Namun, sebagai Dhammaduta, aku sendiri masih belum merasa sempurna dalam berbicara di depan umum. Motivasiku yang pertama dalam berbicara di depan umum hanyalah untuk memutar Roda Dhamma. Hal itu juga yang menjadi kekuatanku untuk berani dalam berbicara di depan umum. Namun, hal tersebut tak cukup untuk menjadi public speaker yang baik atau ideal. Meskipun sejujurnya aku tak merasa telah menjadi pembicara umum yang baik atau pun ideal, di postingan ini aku akan berbagi sedikit pengalaman dalam berbicara di depan umum. Mungkin tak akan banyak pengalaman-pengalaman yang bermanfaat, karena pastinya banyak yang lebih terampil dibanding kemampuanku. Namun, semoga pengalaman-pengalaman ini akan menambah wawasan para pembaca.
Aku tak terlahir dengan bakat berbicara di depan umum. Dulu mungkin takkan ada seorang pun yang ingin mendengarkanku berbicara di depan mereka, karena teknikku dalam berbicara yang kurang terampil. Semuanya dimulai dari saat aku aktif dalam organisasi remaja di Vihara. Kala itu, aku menjabat sebagai wakil ketua. Dalam memimpin remaja di Vihara tersebut tak semudah yang dibayangkan saat itu. Setiap minggunya Sang Ketua yang merupakan temanku mengundang beberapa pembicara untuk mengisi kegiatan. Jika tak ada pembicara, maka dialah yang bertanggung-jawab mengisi kegiatan, yang biasanya diisi dengan sharing.
Suatu saat, ketua remaja tersebut memberikanku kesempatan untuk mengisi kegiatan. Tentunya dia memberitahuku seminggu sebelumnya. Namun, dalam menyiapkan diri dan memikirkan apa saja yang akan disampaikan nantinya tak cukup mudah. Terlebih lagi, aku tak berbakat berbicara secara spontan di depan umum. Oleh karena itu, aku pun memutuskan untuk mengisinya dengan Dhammadesana, karena semua topiknya dapat dicari di internet dan di buku. Mulailah kususun slide presentasi dan topik di dalamnya. Kala itu, kuputuskan untuk membawakan topik “Puasa dalam Agama Buddha,” karena saat itu sedang dalam bulan puasa. Jadi, kurasa cukup hangat untuk disampaikan ke teman-teman remaja.
Pada Hari Minggunya, dimulailah sidang menegangkan tersebut. Sebuah kondisi di mana seakan seperti berada dalam ruang sidang yang menentukan akan ke surga atau neraka. Setelah baca Paritta, pemimpin puja bhakti memimpin meditasi. Hatiku pun tak tenang tentunya. Pikiran menjadi lebih kacau dan sulit teratur. Di luar kendali, hal yang terus berada dalam pikiranku selama meditasi adalah apa yang akan kusampaikan nanti, dimulai dari mana, berakhir di mana, berapa lama waktu yang diberikan untuk berbicara, apakah mereka akan mendengarkanku, bagaimana ekspresi mereka nantinya?
Tak lama, meditasi pun selesai dan pemimpin puja bhakti memanggil namaku...

Bersambung...

0 comments :

Post a Comment