Pernahkah kita berpikir mengapa sekarang kita hidup?
Dan untuk apa kita hidup? Saya sendiri merupakan salah seorang yang juga pernah
merenungkannya. Saat itu satu-satunya jawaban yang berada di benak saya adalah
Tuhan. Saya dapat hidup pada saat itu karena Tuhan menciptakan saya, dan untuk
apa hidup saya kelak? Semua itu rahasia Tuhan, karena Tuhan telah mengaturnya
bagai alur cerita yang telah disusun oleh Sang Pengarang. Detik itu, saya
sedikit tenang dan jauh dari rasa cemas. Tapi ternyata ketenangan tersebut tidak
dapat bertahan lama.
Pikiran yang selanjutnya muncul adalah jika memang hidup
ini telah diatur oleh Tuhan, mengapa masih perlu bekerja keras mencari nafkah,
masih perlu berusaha memperoleh IPK tinggi di kampus, nilai tinggi di sekolah,
dan lain sebagainya. Bukankah jika Tuhan telah mengatur seseorang akan menjadi
kaya kelak, orang tersebut dapat menjadi kaya tanpa dia bekerja keras? Dan
sebaliknya, bukankah jika Tuhan telah mengatur seseorang tidak akan menjadi
kaya kelak, orang tersebut tetap tidak akan memperoleh kekayaan meskipun
bekerja keras? Perenungan-perenungan tersebut membuat saya ragu terhadap apa
yang dipercaya dan diyakini beberapa orang di lingkungan saya hidup dari kecil
dahulu.
Jika kunci jawabannya bukan ada pada Tuhan, lalu ada
pada siapa atau apa? Agama Buddha secara realistis telah membuka mata kiri saya
bahwa kunci jawabannya tersebut ada pada diri kita sendiri sebagai makhluk
hidup. Di Indonesia mungkin Agama Buddha merupakan satu-satunya agama yang
memiliki pernyataan bahwa kehidupan tidak hanya terdapat di alam manusia,
melainkan juga terdapat di alam binatang, terdapat di alam hantu, di alam
surga, alam neraka, dan alam-alam lainnya yang berjumlah 31 alam kehidupan. Dan
Agama Buddha telah membuka mata kanan saya bahwa hidup ini tidak hanya sekali.
Kita telah terlahir di alam kehidupan pada dahulu-dahulu kala, bahkan hingga
nanti masih akan terlahir kembali. Kita dapat terlahir kembali seterusnya bukan
karena diciptakan oleh pihak ketiga, pihak keempat, atau kelima, melainkan
karena perbuatan kita sendiri yang mendorong batin dan jasmani ini untuk tetap
hidup. Kita akan bahas lebih rinci di topik khusus kelak.
Yang sebaiknya dipikirkan sekarang bukanlah lagi
mengapa dan untuk apa kita hidup, melainkan apa tujuan hidup kita secara umum?
Secara pribadi pastinya beberapa dari kita bertujuan untuk bekerja sebagai
dokter, sukses sebagai pengusaha, memiliki kekayaan, dan lain sebagainya. Inti
dari semua hal tersebut adalah kebahagiaan. Kita bahagia jika dapat bekerja
sebagai dokter, bahagia jika dapat sukses sebagai pengusaha, jika memiliki
kekayaan, dan seterusnya. Kebahagiaan bukan hanya menjadi tujuan hidup Umat
Buddha, dan bahkan bukan hanya menjadi tujuan hidup manusia, melainkan semua
makhluk. Tapi terdapat suatu hal yang membuat kita tidak akan puas terhadap
kebahagiaan duniawi. Awal kita bekerja sebagai dokter mungkin kita akan bangga,
senang, bahagia, tapi sebulan kemudian setelah menemukan banyak masalah dan
kesulitan sebagai dokter tentunya akan menderita. Kebahagiaan duniawi tetaplah
duniawi, karena di dunia ini kehidupan masih dibumbui oleh kebahagiaan dan
penderitaan. Kadang bahagia, kadang menderita, merupakan sesuatu yang wajar
dirasakan di dunia.
Karena kebahagiaan duniawi tidak dapat bertahan lama
atau kekal, beberapa agama menyatakan bahwa kebahagiaan surgawilah yang kekal
abadi. Oleh karena itulah tidak heran kita lihat agama-agama yang mengajarkan
umatnya untuk mengejar surga setelah meninggal di alam manusia ini. Tapi
ternyata, mereka tidak sepenuhnya benar. Seperti yang diajarkan Agama Buddha
mengenai 31 alam kehidupan, semua makhluk di alam manapun memiliki batas umur.
Tidak ada satu makhluk pun yang dapat hidup kekal abadi, sekalipun telah
terlahir di surga.
Pastinya hal-hal tersebut membuat kita menjadi ragu
dan tabuh. Jika kebahagiaan duniawi dan surgawi tidak kekal abadi, apakah hidup
sebagai makhluk memang ditakdirkan tidak dapat menikmati kebahagiaan selamanya?
Agama Buddha menjawab, ada suatu cara agar makhluk dapat menikmati kebahagiaan
selamanya. Kebahagiaan duniawi dan surgawi tidak kekal karena merupakan sebuah
kondisi, sehingga jika ingin menikmati kebahagiaan selamanya haruslah terbebas
dari kondisi. Hal tersebut yang dalam Agama Buddha disebut Nibbana/Nirvana.
0 comments :
Post a Comment