Pages

Sunday, February 8, 2015

Tujuan Hidup Manusia menurut Agama Buddha (Part 1)

Pernahkah kita berpikir mengapa sekarang kita hidup? Dan untuk apa kita hidup? Saya sendiri merupakan salah seorang yang juga pernah merenungkannya. Saat itu satu-satunya jawaban yang berada di benak saya adalah Tuhan. Saya dapat hidup pada saat itu karena Tuhan menciptakan saya, dan untuk apa hidup saya kelak? Semua itu rahasia Tuhan, karena Tuhan telah mengaturnya bagai alur cerita yang telah disusun oleh Sang Pengarang. Detik itu, saya sedikit tenang dan jauh dari rasa cemas. Tapi ternyata ketenangan tersebut tidak dapat bertahan lama.
Pikiran yang selanjutnya muncul adalah jika memang hidup ini telah diatur oleh Tuhan, mengapa masih perlu bekerja keras mencari nafkah, masih perlu berusaha memperoleh IPK tinggi di kampus, nilai tinggi di sekolah, dan lain sebagainya. Bukankah jika Tuhan telah mengatur seseorang akan menjadi kaya kelak, orang tersebut dapat menjadi kaya tanpa dia bekerja keras? Dan sebaliknya, bukankah jika Tuhan telah mengatur seseorang tidak akan menjadi kaya kelak, orang tersebut tetap tidak akan memperoleh kekayaan meskipun bekerja keras? Perenungan-perenungan tersebut membuat saya ragu terhadap apa yang dipercaya dan diyakini beberapa orang di lingkungan saya hidup dari kecil dahulu.
Jika kunci jawabannya bukan ada pada Tuhan, lalu ada pada siapa atau apa? Agama Buddha secara realistis telah membuka mata kiri saya bahwa kunci jawabannya tersebut ada pada diri kita sendiri sebagai makhluk hidup. Di Indonesia mungkin Agama Buddha merupakan satu-satunya agama yang memiliki pernyataan bahwa kehidupan tidak hanya terdapat di alam manusia, melainkan juga terdapat di alam binatang, terdapat di alam hantu, di alam surga, alam neraka, dan alam-alam lainnya yang berjumlah 31 alam kehidupan. Dan Agama Buddha telah membuka mata kanan saya bahwa hidup ini tidak hanya sekali. Kita telah terlahir di alam kehidupan pada dahulu-dahulu kala, bahkan hingga nanti masih akan terlahir kembali. Kita dapat terlahir kembali seterusnya bukan karena diciptakan oleh pihak ketiga, pihak keempat, atau kelima, melainkan karena perbuatan kita sendiri yang mendorong batin dan jasmani ini untuk tetap hidup. Kita akan bahas lebih rinci di topik khusus kelak.
Yang sebaiknya dipikirkan sekarang bukanlah lagi mengapa dan untuk apa kita hidup, melainkan apa tujuan hidup kita secara umum? Secara pribadi pastinya beberapa dari kita bertujuan untuk bekerja sebagai dokter, sukses sebagai pengusaha, memiliki kekayaan, dan lain sebagainya. Inti dari semua hal tersebut adalah kebahagiaan. Kita bahagia jika dapat bekerja sebagai dokter, bahagia jika dapat sukses sebagai pengusaha, jika memiliki kekayaan, dan seterusnya. Kebahagiaan bukan hanya menjadi tujuan hidup Umat Buddha, dan bahkan bukan hanya menjadi tujuan hidup manusia, melainkan semua makhluk. Tapi terdapat suatu hal yang membuat kita tidak akan puas terhadap kebahagiaan duniawi. Awal kita bekerja sebagai dokter mungkin kita akan bangga, senang, bahagia, tapi sebulan kemudian setelah menemukan banyak masalah dan kesulitan sebagai dokter tentunya akan menderita. Kebahagiaan duniawi tetaplah duniawi, karena di dunia ini kehidupan masih dibumbui oleh kebahagiaan dan penderitaan. Kadang bahagia, kadang menderita, merupakan sesuatu yang wajar dirasakan di dunia.
Karena kebahagiaan duniawi tidak dapat bertahan lama atau kekal, beberapa agama menyatakan bahwa kebahagiaan surgawilah yang kekal abadi. Oleh karena itulah tidak heran kita lihat agama-agama yang mengajarkan umatnya untuk mengejar surga setelah meninggal di alam manusia ini. Tapi ternyata, mereka tidak sepenuhnya benar. Seperti yang diajarkan Agama Buddha mengenai 31 alam kehidupan, semua makhluk di alam manapun memiliki batas umur. Tidak ada satu makhluk pun yang dapat hidup kekal abadi, sekalipun telah terlahir di surga.
Pastinya hal-hal tersebut membuat kita menjadi ragu dan tabuh. Jika kebahagiaan duniawi dan surgawi tidak kekal abadi, apakah hidup sebagai makhluk memang ditakdirkan tidak dapat menikmati kebahagiaan selamanya? Agama Buddha menjawab, ada suatu cara agar makhluk dapat menikmati kebahagiaan selamanya. Kebahagiaan duniawi dan surgawi tidak kekal karena merupakan sebuah kondisi, sehingga jika ingin menikmati kebahagiaan selamanya haruslah terbebas dari kondisi. Hal tersebut yang dalam Agama Buddha disebut Nibbana/Nirvana.

0 comments :

Post a Comment