Menjadi
Dhammaduta berarti secara tak langsung juga menjadi public speaker atau pembicara umum. Namun, sebagai Dhammaduta, aku sendiri masih belum
merasa sempurna dalam berbicara di depan umum. Motivasiku yang pertama dalam
berbicara di depan umum hanyalah untuk memutar Roda Dhamma. Hal itu juga yang
menjadi kekuatanku untuk berani dalam berbicara di depan umum. Namun,
hal tersebut tak cukup untuk menjadi public
speaker yang baik atau ideal. Meskipun sejujurnya aku tak merasa telah
menjadi pembicara umum yang baik atau pun ideal, di postingan ini aku akan
berbagi sedikit pengalaman dalam berbicara di depan umum. Mungkin tak akan banyak
pengalaman-pengalaman yang bermanfaat, karena pastinya banyak yang lebih terampil
dibanding kemampuanku. Namun, semoga pengalaman-pengalaman ini akan menambah wawasan para pembaca.
Aku
tak terlahir dengan bakat berbicara di depan umum. Dulu mungkin takkan ada
seorang pun yang ingin mendengarkanku berbicara di depan mereka, karena
teknikku dalam berbicara yang kurang terampil. Semuanya dimulai dari saat aku
aktif dalam organisasi remaja di Vihara. Kala itu, aku menjabat sebagai wakil
ketua. Dalam memimpin remaja di Vihara tersebut tak semudah yang dibayangkan
saat itu. Setiap minggunya Sang Ketua yang merupakan temanku mengundang
beberapa pembicara untuk mengisi kegiatan. Jika tak ada pembicara, maka dialah
yang bertanggung-jawab mengisi kegiatan, yang biasanya diisi dengan sharing.
Suatu
saat, ketua remaja tersebut memberikanku kesempatan untuk mengisi kegiatan.
Tentunya dia memberitahuku seminggu sebelumnya. Namun, dalam menyiapkan diri
dan memikirkan apa saja yang akan disampaikan nantinya tak cukup mudah.
Terlebih lagi, aku tak berbakat berbicara secara spontan di depan umum. Oleh
karena itu, aku pun memutuskan untuk mengisinya dengan Dhammadesana, karena semua topiknya
dapat dicari di internet dan di buku. Mulailah kususun slide presentasi dan topik di dalamnya. Kala itu, kuputuskan untuk
membawakan topik “Puasa dalam Agama Buddha,” karena saat itu sedang dalam bulan
puasa. Jadi, kurasa cukup hangat untuk disampaikan ke teman-teman remaja.
Pada
Hari Minggunya, dimulailah sidang menegangkan tersebut. Sebuah kondisi di mana seakan
seperti berada dalam ruang sidang yang menentukan akan ke surga atau neraka.
Setelah baca Paritta, pemimpin puja bhakti memimpin meditasi. Hatiku pun tak tenang
tentunya. Pikiran menjadi lebih kacau dan sulit teratur. Di luar kendali, hal
yang terus berada dalam pikiranku selama meditasi adalah apa yang akan
kusampaikan nanti, dimulai dari mana, berakhir di mana, berapa lama waktu yang
diberikan untuk berbicara, apakah mereka akan mendengarkanku, bagaimana
ekspresi mereka nantinya?
Tak lama, meditasi pun selesai dan pemimpin puja bhakti memanggil
namaku...
Bersambung...
0 comments :
Post a Comment