Karena belum melewati cap go me, sehingga masih berada dalam
suasana Tahun Baru Imlek. Dan alangkah baiknya saya, Aditya Tandi, sebagai
penulis blog iPad Dhammaduta, secara pribadi mengucapkan Kionghi Huat Cai, Selamat Tahun Baru Imlek 2566 (berdasarkan tahun
kelahiran Konghucu). Berkenaan dengan Tahun Baru Imlek, ada beberapa keunikan
tersendiri dalam perayaannya. Misalnya saja penduduk tionghoa di Indonesia yang
biasanya membunyikan petasan pada Tahun Baru Imlek. Kemudian, beberapa juga
menyembunyikan sapu. Dan sudah tidak asing jika banyak yang menggantungkan lampion
merah. Serta masih banyak lagi tradisi tionghoa baik saat Tahun Baru Imlek atau
saat-saat tertentu lainnya. Sebenarnya apa sih esensi dari tradisi-tradisi tersebut?
Dan apakah budaya dan tradisi yang selama ini dijalankan sesuai dengan ajaran Agama
Buddha?
Sesungguhnya cukup
lucu, jika ditanyakan apakah budaya dan tradisi tionghoa sesuai dengan ajaran
Agama Buddha. Ajaran Buddha adalah kebenaran mutlak yang akrab kita sebut “Dhamma”.
Sedangkan Dhamma secara luas merupakan seluruh fenomena yang berada di alam
semesta ini... termasuk budaya dan tradisi baik yang dijalankan penduduk tionghoa
di Indonesia, maupun penduduk pribumi seperti sunda, jawa, batak, dll. Hal ini
layaknya kita tidak dapat mengatakan bahwa angka nol bukanlah merupakan sebuah
angka, karena tidak memiliki nilai. Sedangkan ketika kita sendiri menyebutkan “angka
nol” saja secara tidak langsung telah mengatakan bahwa nol adalah angka.
Dalam Dhammanussati (perenungan
terhadap kualitas Dhamma), kita sebutkan di awal “Svakkhato Bhagavata Dhammo”
yang berarti Dhamma ajaran Sang Bhagava telah sempurna dibabarkan. Svakkhato
atau sempurna di sini maksudnya sudah tidak perlu ditambah-tambahi atau
dikurang-kurangi lagi. Hal ini dapat dibuktikan karena Kitab Suci Agama Buddha
tidak pernah direvisi dari ketika awal ditulis pada daun lontar hingga saat
ini.
Selanjutnya, “Sanditthiko”
yang maksudnya berada sangat dekat. Mengapa dikatakan Dhamma berada sangat
dekat? Karena sesungguhnya Dhamma ada di diri kita sendiri. Oleh karena itulah
ketika kita melakukan puja bhakti di Vihara, belum pernah menggunakan pengeras
suara hingga terdengar keluar dari gedung Vihara.
Lalu, “Akaliko” yang
tidak lain adalah tak bersela waktu. Saat Dhamma dipraktekkan, langsung
menyembuhkan. Setelah melakukan kamma baik, kita tidak harus menunggu kamma
vipaka baiknya berbuah di kehidupan yang akan datang. Karena kamma vipaka baik
bisa saja berbuah langsung di kehidupan sekarang. Sehingga tidak perlu menunggu
kiamat baru dapat merasakan kebahagiaan dari kamma vipaka baik tersebut.
Setelah itu,
Ehipassiko. Kualitas Dhamma yang paling populer ini sudah jelas bahwa artinya
mengundang untuk dibuktikan. Dapat dikatakan begitu karena Buddha tidak pernah
merahasiakan sedikitpun ajaran yang telah ditemukan-Nya. Bahkan Bhagava dengan
lantang meminta murid-murid-Nya untuk membuktikan terlebih dahulu semua
ajaran-Nya sebelum menerimanya mentah-mentah.
Kemudian, Opanayiko.
Artinya menuntun ke dalam batin, yang rincinya bermakna dapat dipraktekkan.
Seluruh ajaran Buddha yang telah dibabarkan pada manusia dapat dipraktekkan.
Bukan semata-mata wawasan atau pemahaman yang tidak dapat merubah apapun
menjadi lebih baik. Di awal dikatakan bahwa sesungguhnya Dhamma merupakan
seluruh fenomena yang berada di alam semesta ini. Lalu, apakah berarti seluruh
Dhamma tersebut bermanfaat dan dapat dipraktekkan? Hal ini telah ditanyakan
terlebih dahulu pada jaman Buddha Gotama ketika salah seorang murid-Nya
bertanya. Buddha Gotama menjelaskan dengan bijak bahwa Dhamma yang diajarkan
Bhagava hanya sebanyak satu lembar daun di tangan-Nya dari banyaknya daun
seluruh pohon-pohon di hutan. Mengapa hanya dibabarkan demikian? Karena hanya
sebanyak itulah yang bermanfaat dan dapat merubah segala sesuatu menjadi lebih
baik. Sungguh luar biasa memiliki guru seperti Bhagava.
Kualitas Dhamma terakhir
adalah “Paccatam veditabbo vinnuhi” yang tidak lain adalah dapat diselami
oleh para bijaksana dalam batin masing-masing. Dhamma tidak hanya dapat
dipraktekkan oleh umat Buddha, karena Dhamma bersifat universal, melampaui
keadaan, waktu, dan tempat. Siapapun baik umat Buddha, bukan umat Buddha,
seluruh manusia, bahkan seluruh makhluk seperti binatang, hantu, dewa, dan
makhluk-makhluk lainnya dapat mempraktekkan Dhamma. Ada Buddha atau tidak ada
Buddha, Dhamma tetaplah ada.
0 comments :
Post a Comment