Blog ini akan memuat artikel-artikel mengenai Dhamma hasil tulisan tangan
seorang Dhammaduta, yaitu saya sendiri. Nama saya Aditya, lengkapnya Aditya
Tandi. Ya, benar saya se-tan (bahasa hokkien) atau dalam
bahasa Indonesia bermarga Tan. “Adi” itulah nama panggilan yang biasa terlontar
di lingkungan keluarga kepada saya. Tapi di lingkungan sekolah, kampus, vihara,
atau lingkungan eksternal lainnya, kebanyakan orang memanggil Adit sebagai
tanda keakraban mereka dengan saya. “Aditya” merupakan sebuah nama asli
Indonesia yang populer, terutama di lingkungan hidup saya. Beberapa orang
merasa bangga akan kepopuleran namanya di lingkungan. Menurut mereka
populer/banyak dipakai berarti nama tersebut bagus dan memiliki arti/makna yang
baik, tapi tidak untuk saya. Saya akan jelaskan jika kita berjodoh Dhamma di
vihara, organisasi, atau lingkungan lainnya.
Kembali kepada pendahuluan blog ini. Artikel-artikel Dhamma yang
akan ditulis di sini tidak semata-mata berdasarkan pemahaman yang sangat amat
dasar dan pengetahuan yang tidak pasti. Saya akan mencoba memasukkan
sumber-sumber di mana saya berpendapat nantinya, dan sumber-sumber tersebut
tidak lain adalah dari Tipitaka/Tripitaka yang merupakan kitab suci Agama
Buddha itu sendiri. Topik-topik yang akan tersedia nantinya pun merupakan hasil
survey dari beberapa anak remaja buddhis di lingkungan saya sebagai penulis.
Tidak hanya memuat artikel-artikel Dhamma, blog ini juga akan menyediakan
cerita-cerita dari pengalaman pribadi saya sendiri sebagai seorang dhammaduta
baik dalam dhammadesana, berorganisasi, maupun cerita kehidupan yang lebih
bersifat pribadi.
Sebagai penulis dan Dhammaduta, saya termasuk orang yang beruntung
karena sudah dibekali terlahir di keluarga yang meskipun tidak secara
keseluruhan, tapi terpenting adalah memiliki kedua orang-tua yang buddhis dan
mengenal Dhamma. Dengan pemahaman mereka terhadap Dhamma, mereka memutuskan
menyekolahkan saya di SD Maitreya dari tahun 2001 hingga tahun 2006 pada saat
itu. Meskipun sekolah tersebut bernama Maitreya, tapi pendidikan agama di sana
tetap secara Theravada. Hingga akhirnya saya dilanjutkan ke sekolah negeri,
yaitu SMP Negerti 1 Karawang Barat dan SMA Negeri 1 Karawang. Dan sekolah di
sana bukan berarti saya dijauhkan dari Dhamma. Keberuntungan saya selanjutnya adalah
mendapatkan pendidikan Agama Buddha di sekolah negeri, yang juga berjodoh
Dhamma dengan guru agama ketika SD. Dengan memiliki dasar pengetahuan Dhamma
dari SD, SMP, hingga SMA, saya sempat beberapa kali mengikuti kegiatan Dhamma
Class yang diadakan di vihara tempat saya aktif berorganisasi, yaitu
Vihara Buddha Guna Karawang. Diawali pertengahan tahun 2013, keberuntungan saya
lainnya adalah memiliki ayah yang berjaringan luas dan dapat mendorong saya
untuk dhammadesana di beberapa daerah.
0 comments :
Post a Comment